Jumat, 19 September 2014

Culture Of Tana Toraja ( Budaya tana toraja )

Culture Of Tana Toraja


Within the community there are an awful lot of Tana Toraja customs that can be found there, so that the Tana Toraja has tourism potential which is pretty awesome especially in the culture of the local area. The diverse cultures in Tana Toraja has its own distinctive characteristics in comparison with other areassometimes have in common with other regions. As for the diversity of customsfound in Tana Toraja is the ceremony of death where the dead are treateddifferently in accordance with his age and the way the different burial, ceremonial Meroek i.e. ceremonial homage to the Patron Goddess of the society, the wedding ceremony.

Rumah Adat Tanah Toraja
In the Kab. Tana Toraja ceremony that there are two very well known, namely thetraditional ceremony Signs Solo ' (for the funeral ceremony) and Randanan, andSweep events Tombi Saratu ', and Ma'nene ', and the ceremonial Tuka. Thesecustomary ceremonies above good Tuka ' Solo ' Signs and followed by a danceand music typical of the Toraja manifold. The majority of torajan Christianity,while some embraced Islam and animism, [1] known as Aluk To Dolo. The Government of Indonesia has acknowledged this belief as part of Agama Hindu Dharma. The Toraja are an ethnic group living in the mountains of the northern part of South Sulawesi, Indonesia. Its population is estimated at about 600,000inhabitants. They also settled in parts of the Plains and West Sulawesi, Luwu.
The name Toraja initially given by the Bugis. Makassar Sidenreng and from Luwu.The population of this area is named the Makassar Sidenreng as To the meaningof "; people who dwelt in the land of mountains", or being the person To call itRiajang Luwu meaning "he who dwells in the West". There is also another version that said origin To Toraya = Tau (people), Kingdom of the word =Maraya (large), it means the big guys, Duke. Gradually, the mention of the TanaToraja, and the word means land, so that the settlement of the Toraja is knownthen the Tana Toraja. Tana Toraja region also held Tondok Lili'na LaponganMatari'allo literally meaning Tana Moon is "a Country round the Moon and Sun".This region is inhabited by one ethnicity (Ethnic Toraja).
The Toraja have little notion of themselves as an ethnic group before the 20th century. Before the colonization of the Netherlands and Christianization, torajans, who lived in highland areas, identified by their village, and is notassumed as the same group. Although the rituals created linkages between villages, there is a lot of diversity in dialects, social hierarchies, and various ritualpractices in the area of the Highlands of Sulawesi. "Toraja(from the coastallanguages, meaning person, and Highland,;) was first used as a term for the inhabitants of the lowland inhabitants of the plateau.
As a result, "Torajainitially more had trade relations with outsiders such as the Bugis and makassarese, who constitute the majority of the lowland of Sulawesithan with fellow tribe in the Highlands. Netherlands missionary presence in the Highlands gave rise to the Toraja the Toraja ethnic consciousness in the Sa'dan Toraja region, and this shared identity grew with the rise of tourism in TanaToraja. Since then, South Sulawesi has four main ethnic groups of the Bugis (themajority, including shipbuilders and seafarers), makassarese (merchants andseafarers), the Mandarese (traders and fishermen), and the Toraja (farmers in the Highlands

Budaya Tana Toraja

Dalam masyarakat Tana Toraja terdapat banyak sekali adat istiadat yang dapat dijumpai di sana, sehingga Tana Toraja memiliki potensi wisata yang cukup mengagumkan khususnya pada kebudayaan daerah setempat. Kebudayaan yang beragam di Tana Toraja memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah lain yang terkadang memiliki kesamaan dengan daerah lainya. Adapun keragaman adat istiadat yang terdapat didaerah Tana Toraja yaitu upacara Kematian dimana orang yang sudah mati diperlakukan berbeda sesuai dengan usianya dan cara penguburan yang berbeda, upacara Meroek yaitu upacara penghormatan kepada Dewi Pelindung masyarakat, upacara perkawinan.

Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme[1] yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis. Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja. Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar